Monday, September 30, 2013

Post-It Note, Si Kertas Ajaib


Saat pertama kali masuk kuliah di tahun 2010, saya dibuat kagum oleh sebuah hal kecil yang dibawa oleh teman saya, yakni sebuah kombinasi kertas dan plastik berukuran kecil yang ditempel sebagai penanda buku. Sekilas saya melihatnya sebagai hal sederhana, namun ketika iseng meminta 2 lembar kertas tersebut sebagai penanda di buku saya, entah mengapa saya merasa terbantukan untuk selalu mengingat dengan mudah bagian-bagian buku yang saya tandai. Saya tanya pada teman saya apa nama kertas tempel kecil tersebut. Ia pun menjelaskan bahwa nama benda tersebut adalah Post-It, lengkap dengan tambahan informasi mengenai harga dan tempat membelinya. Seketika itu saya pun berniat untuk ikut-ikutan membelinya.


Saya membelinya di sebuah lapak stationery di pinggir rel kereta dekat Stasiun UI (sekarang sudah digusur dan berpindah beberapa meter masuk ke dalam sebuah gang bernama gang Sawo), harganya murah, saat itu Post-It yang sama persis dengan punya teman saya tersebut dijual dengan harga Rp 2.000,- per kemasan. Ternyata Post-It ini beragam jenisnya, dan salah satunya mengingatkan saya pada kertas-kertas memo yang biasa ditempel di pintu kulkas dan tepian layar komputer. Oh, jadi benda tersebut namanya Post-It, pikir saya waktu itu. 


Walaupun pada akhirnya saya jarang menggunakan Post-It, namun saya tetap menyukai konsep brilian di balik kesederhanaan bentuknya. Suatu hari setelah liburan Lebaran di tahun 2011, saya membeli sebuah buku berjudul 100 Great Business Ideas karya Emily Ross dan Angus Holland, dan senangnya buku tersebut memenuhi ekspektasi saya tentang inspirasi-inspirasi dari kesuksesan berbagai merek besar dunia. Salah satu isinya ternyata membahas tentang Post-It yang ternyata bukan nama benda yang saya kagumi itu, melainkan nama mereknya. 


Post-It yang memiliki merek resmi Post-It Note ini merupakan salah satu produk andalan di bawah payung 3M Company, sebuah perusahaan multinasional penghasil produk-produk industrial, produk konsumer, perawatan kesehatan, hingga transportasi truk yang berbasis di kota St. Paul, Minnesota, Amerika Serikat. 
Awal mula terciptanya Post-It Note merupakan buah ide dari sepasang rekan kerja, Arthur Fry dan Spencer Silver, yang bekerja di divisi riset 3M. Kala itu, Silver menemukan sebuah formula lem yang tidak terlalu lengket ketika sedang bereksperimen dengan lem yang digunakan untuk pita perekat. Lem buatan Silver tersebut dipandang revolusioner karena dapat menempel dan dilepas lagi tanpa merusak permukaan yang ditempel, namun sayangnya ia tidak menemukan kegunaan nyata lem tersebut. Ia pun memutuskan untuk mempromosikan perekat berdaya lekat rendah kepada anggota divisi riset lainnya di 3M, dan berharap dapat menarik minat orang.

Arthur Fry dan Spencer Silver

Seorang anggota divisi riset lain, Art Fry, menemukan kegunaan komersial lem berdaya lekat rendah tersebut setelah mengikuti presentasi yang dilakukan oleh Silver. Dalam sebuah latihan paduan suara di gereja, Fry menjadi sangat jengkel karena pembatas buku yang digunakannya untuk menandai buku nyanyiannya terus terjatuh. Ia sadar bahwa jika ia menggunakan lem buatan Silver pada kertas nota, maka ia dapat menandai halaman-halaman bukunya dengan pembatas buku lengket tanpa merusak halamannya. Bingo! Ide revolusioner Post-It Note pun resmi dilahirkan. 
Sayangnya, konsep Post-It Note tersebut mengalami proses pengembangan yang lambat. Lima tahun sejak Silver menemukan lem berdaya rekat rendah tersebut, komersialisasi Post-It Note nyaris tidak berjalan karena para eksekutif 3M berpendapat produk tersebut akan memiliki kompetitor kuat berupa kertas-kertas coretan, sehingga orang tidak akan mau membelinya.

Sebuah karya seni hias dinding yang menggunakan Post-It-Note

Namun, Fry terus menekuni proyek 'kesayangannya' tersebut dengan membuat sebuah mesin di ruang bawah tanah rumahnya yang dapat mengoleskan lem pda segulung kertas. Percobaan demi percobaan ia lakukan dengan menggunakan lem buatan Silver tersebut hingga akhirnya di tahun 1997, ia menguji coba Post-It Note di pasaran, namun sayang, hasilnya tidak begitu meyakinkan. Hingga akhirnya 3M mengujinya di kalangan internal dan menemukan bahwa Post-It Note mulai disukai oleh para karyawan dan menjadi sebuah cara baru dalam berkomunikasi, meninggalkan kertas tempel sebagai pengingat di berbagai tempat di area kantor pusatnya. Lalu seorang eksekutif 3M diam-diam melakukan uji coba pemasaran Post-It Note  di sebuah kota di negara bagian Virginia untuk melihat apakah konsumen menyukainya atau tidak, dan tanpa disangka sambutannya sungguh positif.
Akhirnya, Post-It Note resmi diluncurkan pada musim panas di tahun 1980 dan meraih kesuksesan yang begitu cepat. Kini telah tersedia lebih dari seribu variasi Post-It Note di pasaran, dan salah satunya adalah yang pernah saya coba. Begitu populernya Post-It Note di dunia, maka mudah pula ditemui produk serupa tapi tak sama di pasaran. Saya pun menyadari bahwa Post-It Note yang pertama kali saya beli ternyata merupakan merek lain yang memang mencantumkan nama produk besutan 3M tersebut sebagai nama jenis barang, bukan merek. Post-It Note versi asli mudah ditemukan di berbagai toko stationery dan harganya, ya lebih mahal beberapa ratus rupiah saja. (100 Great Business Ideas)

Wednesday, September 25, 2013

Anna Wintour, Sosok Inspiratif yang Dingin dan Ambisius



Ketika berbicara mengenai berbagai sosok perempuan kuat dunia, mungkin sosok Anna Wintour berada di daftar teratas yang menarik diperbincangkan. Sudah 24 tahun lamanya ia menjabat sebagai editor-in-chief majalah Vogue, dan selama itu pula ia turut membentuk industri fashion dunia. Konon, setiap pagelaran mode di berbagai fashion week dunia tidak akan dimulai jika Anna belum hadir. Bahkan para desainer mode papan atas dunia sampai harus menggelar koleksi mereka di hadapan Anna terlebih dahulu sebelum resmi dirilis karena pendapatnya mampu menentukan laris atau tidaknya koleksi tersebut di pasaran.

Menilik sejarahnya hidupnya, ketertarikan Anna terhadap industri media cetak, khususnya jurnalistik, telah terlihat sejak kecil. Anna lahir di London pada tanggal 3 November 1949, dan merupakan anak tertua dari pasangan Charles dan Eleanor Wintour. Ayahnya, Charles Wintour, adalah pemimpin redaksi harian London Evening Standard selama periode 1956 hingga 1979 dan selalu melibatkan ketiga anaknya dalam pekerjaannya. Anna dan kedua adiknya sering diajak melihat percetakan dan semua orang yang bekerja di sana. Menurut Anna, ayahnya mengajarkan etos kerja dan pentingnya mencintai setiap hal baik yang dilakukan di dunia, termasuk karier.

Anna Wintour muda di era 1960-an

Berbeda dengan adik-adiknya yang serius menekuni dunia akademik, Anna justru drop-out dari sekolah menengah dan bergabung dengan kehidupan anak muda London di era 1960-an yang dikenal dengan sebutan masa Swinging London, masa yang berorientasi pada pergerakan kaum muda. Di era ini pula, Anna menjajal karier sebagai model sebelum akhirnya bekerja sebagai fashion stylist di majalah Harper's & Queen. Di majalah ini, Anna menemukan minat terbesarnya pada bidang fashion dan media cetak, di mana setiap halaman mode yang dikerjakannya selalu tampil unik dan melebihi zamannya.

Pada tahun 1976, Anna memutuskan hijrah ke kota New York untuk menempati posisi junior fashion editor di majalah Harper's Bazaar. Hal ini ia lakukan, salah satu alasannya karena ia ingin melapaskan bayang-bayang nama besarnya ayahnya. Ia mengaku kemanapun ia pergi di Inggris, banyak orang selalu menanyakan apakah benar ia anaknya Charles Wintour, dan ia juga merasa tidak nyaman segala hal yang dilakukannya selalu dikait-kaitkan dengan nama besar sang ayah. Pikirnya dengan pindah ke New York, ia dapat menjadi diri sendiri secara utuh.

Meskipun demikian, Anna ternyata hanya mampu bertahan di Harper's Bazaar selama sembilan bulan karena menurutnya ia dinilai 'terlalu Eropa' dalam mengurusi segmen fashion majalah tersebut. Kemudian Anna pun pindah berkarier di majalah New York sebagai fashion editor hingga namanya berhasil mencuri perhatian Alexander Liberman, pemimpin grup penerbitan Condé Nast yang menaungi berbagai majalah besar dunia, termasuk Vogue. Begitu tertariknya pada talenta besar Anna, Liberman pun akhirnya menarik Anna bergabung dengan Vogue di tahun 1983, dan menempatkannya pada posisi creative dirrector yang sebelumnya tidak pernah ada di majalah tersebut.

Grace Mirabella Vs Anna Wintour

Anna yang terkenal 'tajam dan dingin' dalam bekerja membuat banyak pihak di Vogue merasa terancam, termasuk editor-in-chief-nya kala itu, Grace Mirabella. Bahkan dalam otobiografinya, In and Out Vogue, Grace menuliskan betapa Anna berusaha merebut posisinya. Ia menilai Anna sebagai sosok yang penuh curiga dan selalu berusaha mengubah layout  dan beberapa artikel tanpa sepengetahuannya. Bahkan Anna merupakan satu-satunya awak Vogue yang berani vokal dan menentang pendapat Grace di berbagai kesempatan. 

Melihat perseteruan panas Anna dan Grace, manajemen Condé Nast pun akhirnya memindahkan Anna ke Inggris untuk mengepalai majalah British Vogue. Dalam tiga tahun kepemimpinannya di British Vogue, Anna berhasil mengubah image majalah fashion tersebut yang nyeleneh menjadi sebuah media cetak berkelas internasional. Namun bagaimanapun juga, ambisi terbesar Anna adalah mengepalai Vogue yang merupakan kiblat fashion dunia sejak lama. Akhirnya impian tersebut berhasil terwujudkan di tahun 1988, saat manajemen Condé Nast menunjuk Anna yang ketika itu berusia 38 tahun menggantikan posisi Grace Mirabella yang telah memimpin majalah tersebut selama 17 tahun. Pemimpin Condé Nast kala itu, Si Newhouse, mengataka bahwa Vogue sudah terlalu konservatif dan  butuh penyegaran.

Vogue edisi November 1988, edisi perdana di bawah kepemimpinan Anna Wintour

Tidak butuh waktu lama bagi Anna untuk membuat gebrakan baru bagi majalah Vogue. Halaman sampul perdananya di edisi November 1988 menampilkan supermodel asal Israel, Michaela Berzu, mengenakan jaket bertaburkan batu mulia rancangan Christian Lacroix dan bawahan celana jins lansiran Guess. Foto halaman sampul tersebut berkonsep snapshot yang menampilan Berzu tertawa lepas tidak memandang ke depan dan dengan rambut yang tersibak angin. Hal ini sontak membuat dunia fashion terkejut karena Vogue selalu menampilkan wajah close-up wajah seorang model di studio yang tertata rapi sebagai foto halaman sampulnya. Namun, hal tersebut ditanggapi Anna dengan pendapat bahwa sebagai majalah fashion, majalah Vogue bercerita tentang perubahan. 

Semenjak itu, Anna terus melakukan reformasi besar-besaran pada Vogue  yang berdampak pada industri fashion secara keseluruhan. Sebagai contoh adalah halaman sampul yang menampilkan figur-figur publik sebagai modelnya, di mana hal tersebut merupakan sesuatu yang tidak lazim sebelumnya. Bukan hanya selebritas Hollywood, melainkan juga sosok perempuan-perempuan hebat dunia seperti Oprah Winfrey dan Hillary Clinton yang kala itu menjadi first lady. 

Anna Wintour di ruang kerjanya di redaksi Vogue

Anna dikenal hampir tidak pernah mengikuti riset pasar dan  lebih sering merespon nalurinya sendiri. Bisa jadi memang insting Anna memang tajam hingga terbukti ia mampu membawa Vogue menjadi sebuah merek besar di industri fashion dunia. Di bawah kepimpinan Anna selama kurun waktu 1988 hingga 2008, Vogue berhasil melipatkan keuntungan dari 87 juta dollar AS menjadi lebih dari 150 juta dollar AS atau sekitar Rp 1 triliun hingga lebih dari Rp 1,7 triliun (berdasarkan kurs 25 September 2013  - 1 dollar AS = Rp 11.569). 

Pimpinan Condé Nast saat ini, Charles Towsend, bahkan memuji Anna sebagai sosok tidak hanya memikirkan merek Vogue, namun juga pengaruh aspek sosial, politik, dan budaya yang mengekor di belakangnya. Atas prestasinya tersebut, konon Anna diganjar gaji sekitar 1 juta dollar AS per tahunnya dan uang saku 200 ribu dollar AS per bulan untuk belanja baju-baju dinas rancangan berbagai desainer ternama. Belum lagi fasilitas jet pribadi yang siap menerbangkannya ke Paris, London, dan Milan untuk menghadiri perhelatan fashion week setiap dua kali dalam setahun. Ia juga mendapat prioritas kamar suite di berbagai kota yang disinggahinya selama melakukan perjalanan dinas di berbagai kota besar dunia. 

Anna Wintour dalam acara perdana Fashion's Night Out di tahun 2009 di New York City

Kecintaannya pada dunia media fashion juga ditunjukkannya dengan menggalang berbagai kegiatan sosial, seperti contoh ajang Seventh on Sale berupa ajang diskon besar-besaran untuk mencari dana bagi riset HIV/AIDS di tahun 1990-an. Di tahun 2003, Anna menggagas program beasiswa bagi desainer muda Amerika di bawah yayasan Vogue Fondation Fund. Juga untuk mendongkrak industri fashion yang sempat lesu akibat resesi ekonomi di tahun 2008 dan 2009, Anna  pun menggagas diselenggarakannya ajang Fashion's Night Out  berupa pesta diskon fashion semalam suntuk yang digelar serentak di 16 kota besar dunia. Selain itu, Anna juga menjabat sebagai wakil ketua malam dana Metropolitan Museum of Art's Costume sejak tahun 1995 hingga kini.


Berbalik dari prestasi cemerlangnya, banyak kalangan justru menganggap Anna sebagai sosok yang 'dingin', gila kerja, dan terlalu ambisius, sehingga membuatnya mendapat julukan Ratu Es hingga Nuclear Wintour. Apalagi Anna begitu setia dengan kacamata hitam besar yang hampir selalu dikenakannya saat bepergian, di dalam maupun di luar ruangan. Sepertinya hal tersebut merupakan caranya untuk menyembunyikn emosi dalam membaca situasi dan menangkap instingnya. Karakter tersebut menginspirasi terciptanya tokoh Miranda Priestley, pemimpin majalah Runway yang tidak berperasaan, dalam novel The Devil Wears Prada. Novel tersebut diangkat ke layar lebar pad atahun 2006 dengan Anne Hathaway dan Meryl Streep sebagai pemain utamnya, dan meraih keuntungan hingga 326 juta dollar AS di seluruh dunia. 

Meryl Streep dan Anne Hathaway dalam film The Devil Wears Prada

Apakah Anna sekeji Miranda? Dalam sebuah wawancara dengan stasiun televisi CBS dalam program 60 Minutes di tahun yang sama, Anna menyodorkan sebuah lelucon bahwa jika benar dirinya bersikpa keji, lantas bagaimana mungkin banyak orang telah bekerja padanya selama 15 atau 20 tahun dan tahan berada di bawah kepemimpinannya. Hal ini menunjukkan ketenangan Anna dalam menghadapi berbagai cercaan serta kritik yang menghampirinya. Bahkan pernah suatu kali para kelompok pecinta binatang yang konsisten memprotes kegemarannya mengenakan mantel berbahan bulu hewan menaruh bangkai seekor rakun di meja Anna saat bersantap siang di Hotel Four Seasons Paris, namun dibalas Anna dengan hanya menyuruh pelayan menyingkirkan bangkai tersebut dan kembali melanjutkan santap siangnya seolah hal tersebut tidak pernah terjadi. 

Charlie Shaffer, Bee Shaffer, dan Anna Wintour

Begitu pula ketika berbagai tabloid gosip ramai memberitakan dirinya berselingkuh dengan Shelby Bryan, seorang pengusaha telekomunikasi asal Houston, Texas, di tahun 1998, Anna yang saat itu masih berstatus istri dari David Shaffer, tidak pernah mengeluarkan komentar apapun. Pada Akhirnya, Anna dan Shelby pun menceraikan pasangannya masing-masing dan hidup bersama hingga saat ini bersama dengan dua anak kandungnya, Charlie Schaffer dan Bee Shaffer. Hingga sekarang pun, Anna tidak pernah mau berkomentar mengenai kehidupan pribadinya, kecuali perannya sebagai seorang ibu dan perempuan karier. 

Sebuah potongan klip dari dokumenter The September Issue 
yang turut menampilkan keseharian Anna Wintour di rumahnya

Ada satu hal lagi yang unik dari seorang Anna Wintour, yakni ia selalu rutin melakukan aktivitas hariannya di rumah. Ia selalu bangun pukul 05.45 pagi, bermain tenis selama satu jam setiap harinya, lalu bersiap manata rambut dan tata rias bersama make-up artist khusus yang datang ke rumahnya setiap pukul 07.00 pagi, dan setelahnya, supir kantor siap mengantarkan Anna menuju kantor Vogue di lantai 12 Condé Nast Tower yang terletak di kawasan Times Square, New York, tepat pukul 08.00 pagi. Anna juga termasuk disiplin dalam hal pola tidur. Walaupun dunia mode dekat gaya hidup malam dan pesta, Anna tidak pernah mau menghabiskan waktu lebih dari 20 menit ketika menghadiri sebuah pesta, karena ia harus menepati waktu tidurnya pada pukul 22.30 malam. 

Bagaimanapun tanggapan orang mengenai Anna Wintour, saya pribadi termasuk salah satu yang mengidolakannya. Bukan karena ia adalah penguasa media fashion dunia, melainkan etos kerja dan intuisi kariernya yang sangat tajam. Jujur, Anna Wintour begitu menginspirasi saya untuk mencintai setiap pekerjaan yang saya lakukan. Tanpa memandang gender, saya rasa sikap kerja Anna Wintour dapat menjadi panutan banyak orang. 

Poster film The September Issue

Jika ingin mengenal lebih jauh sosok Anna Wintour dan bagaimana kiprahnya di majalah Vogue seingga menjadikannya perempuan paling berpengaruh di industri mode duni, film dokumenter The September Issue adalah jawabannya. Saya pertama kali menonton film ini di tahun 2010 silam ketika sedang berada di kota Padang dan tidak sengaja menemukan DVD bajakan film ini. Yeah, film yang rilis di tahun 2009 ini cukup menggambarkan dengan detail bagaimana sebuah majalah menjadi tolak ukur sebuah industri kreatif raksasa, yakni industri mode. (More/CBS)

Saturday, September 21, 2013

Skyline Sebagai Refleksi akan Identitas Sebuah Kota



Salah satu topik yang sangat saya sukai adalah mengenai perkotaan, namun lebih kepada karakteristik sebuah kota. Nah, jika berbicara mengenai karakteristik kota, maka istilah skyline agak aneh ketika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, yakni menjadi garis langit. Bagi orang awam, terjemahan tersebut bisa jadi dimaknai sebagai sesuatu yang ganjil karena umumnya garis langit itu justru terdengar seperti sebuah fenomena ganjil seperti halnya kemunculan pola awan yang membentuk sepasang mata sebelum musibah gempa Padang pada medio 2009 lalu. Istilah skyline yang dibahas dalam artikel ini bukan seperti terjemahan tersebut.


Saya menemukan definisi skyline dalam kamus Bahasa Inggris terbitan Miriam Webster sebagai sebuah kata benda yang memiliki arti sekumpulan bangunan, gunung, dan hal sebagainya yang membelakangi langit. Sedangkan menurut International Union Architect, sebuah perkumpulan arsitek dunia, mengatakan bahwa skyline adalah keseluruhan atau sebagian titik pandang kota yang terdiri dari gedung-gedung dan berbagai ornamen kota yang membelakangi langit. Dengan kata lain, skyline dapat menjadi sebuah artifisial garis langit yang dibentuk dari keseluruhan ornamen sebuah kota. 
Skyline memiliki fungsi layaknya sidik jari bagi sebuah kota, sehingga tidak pernah ada dua atau lebih kota yang memiliki ciri yang sama dalam hal titik pandangnya. Alasan inilah yang membuat banyak acara televisi, program berita dan olahraga, video musik, dan film sering menggunakan skyline untuk memberikan gambaran mengenai latar belakang lokasi. 


Salah satu skyline yang cukup populer di dunia adalah skyline kota New York, Amerika Serikat. Pertama kali dikenalkan sebagai sebuah ciri khas kota berjuluk Big Apple City tersebut oleh ilustrator bernama Charles Graham di tahun 1896 sebagai suplemen warna dalam terbitan koran New York Journal. Berhubung kala itu New York merupakan kota terbesar dan tersibuk di dunia, bahkan hingga saat ini, maka tidak sulit bagi skyline kota ini dikenal luas dan menjadi identitas yang mudah dikenali di seantero dunia.
Suatu kali ketika sedang googling, saya menemukan fakta menarik di situs www.theatlanticcities.com bahwa skyline ternyata dibagi menjadi 10 tipe yang masing-masing mencirikan karakter umum dari berbagai kota sejenis di seluruh dunia. Berikut adalah sepuluh tipe skyline tersebut.

1. Urban Living

Vancouver, Kanada

Kota ini memiliki tingkat kepadatan aktivitas yang tinggi selama 24 jam dan tujuh hari seminggu, dan umumnya para penduduk kota jarang meninggalkan pusat kota karena hampir segala kebutuhan jasmani dan rohani tersedia dengan lengkap di sana. Salah satu contoh kota yang masuk dalam kategori ini adalah kota Vancouver, Kanada. Berlokasi di sebuah teluk di tepi Samudera Pasifik, Vancouver merupakan pelabuhan alami yang cantik. Di sana, penduduknya dengan mudah mengakses tempat kerja, tempat belanja, hunian, dan fasilitas kota lainnya melalui jaringan jalan yang tertata rapi, transportasi publik yang nyaman dan terintegrasi, serta opsi tempat rekreasi yang beragam. Untuk hal yang terakhir, warga Vancouver memiliki banyak pilihan destinasi rekereasi seperti taman kota, taman nasional, taman tematik, museum, pusat perbelanjaan, pasar barang bekas, pantai, bahkan objek wisata air terjun yang berada di batas timur kota.

2. The Power Broker

New York, AS

Jenis kota ini selalu identik dengan gedung-gedung tinggi yang tegap dan berukuran raksasa, dan selalu merepresentasikan segala hal yang orang bayangkan ketika membahas mengenai skyline. Kota New York, Tokyo, dan Chicago adalah tiga kota yang menjadi contoh utama dalam tipe ini. Ketiga kota tersebut memiliki perpaduan yang baik antara hunian, area komersial, dan struktur bangunan yang  beragam, di mana hal ini selalu berhasil mendefinisikan sebuah lanskap urban yang sesungguhnya.

3. On The Edge

Hong Kong

Jenis kota ini umunya dibangun di area sempit tepi laut, dan dua contoh utamanya adalah kota Hong Kong dan Monte Carlo, Monako. Namun, saya akan lebih menitik beratkan pada karakteristik kota Hong Kong. Pusat kota ini dibangun di area sempit seputaran Pelabuhan Victoria dan memiliki lebih lebih banyak gedung dengan ketinggian di atas 500 kaki (sekitar 160 meter) dibandingkan kota-kota lain di dunia. Bahkan kota ini memiliki enam gedung dengan ketinggian lebih dari 1000 meter (sekitar 300 meter), salah satunya adalah International Commerce Center dengan ketinggian 484 meter yang merupakan salah satu gedung tertinggi di kawasan Asia Timur. 

4. Zoned Out

Paris, Prancis

Satu-satunya contoh kota untuk tipe ini adalah Paris, dimana patokan kota sepenuhnya dipegang oleh Menara Eiffel. Pada pertengahan abad 19, seorang baron (sebutan bagi bangsawan Prancis) bernama George Eugene Hausmann mengajukan rencana tata ruang kota Paris sebagai sebuah kota yang bercita rasa tinggi, dan terbukti tetap digunakan hingga saat ini. Hausmann juga merupakan sosok yang mendorong Gustav Eiffel untuk merancang Menara Eiffel sebagai penanda kota Paris. Dalam rujukan rencana tersebut, Hausmann menitik beratkan pada pengerjaan ulang jalan-jalan kota sesuai dengan konsep ideal kota modern, dengan salah satu aturannya adalah membatasi tinggi bangunan tidak lebih dari 20 meter dengan tujuan membuat Menara Eiffel sebagai penanda kota dapat terlihat dari seluruh penjuru kota Paris. Walaupun begitu, Paris juga tetap memiliki gedung-gedung pencakar langit yang terkonsentrasi di sebuah kawasan bernama La Defense di area pinggiran kota. Konsep La Defense sendiri memiliki serupa dengan kawasan bisnis di kota-kota tua di Eropa Barat seperti Canary Wharf di London, Inggris, dan EUR di kota Roma, Italia.

5. Post Communist

Shanghai, China

Definisi sederhana dari tipe kota ini adalah kota-kota modern yang bermunculan pasca runtuhnya Uni Soviet di akhir dekade 80-an, di mana semenjak itu, kota-kota penting di negara-negara komunis yang besar seperti China dan Rusia, mengalami perkembangan ekonomi yang pesat dan mendorong peningkatan fasilitas kota dan berbagai elemennya. Beberapa contoh tipe ini adalah kota Beijing, China, dan Moskow, Rusia, dimana dalam kurun waktu kurang dari dua dekade belakangan, kota-kota ini telah berubah menjadi sebuah kosmopolitan baru yang diperhitungkan di kancah dunia. Namun hal ini sedikit mendapat pengecualian bagi Shanghai yang lebih dulu maju berbarengan dengan Hong Kong sejak akhir dekade 70-an menjadi jajaran kota moderen utama dunia.

6. Oligopolis

Boston, AS

Definisi oligopolis adalah berbagai prinsipal yang bergelut dalam sebuah lingkup tertentu, dan contoh sederhananya adalah industri mobil, di mana sudah jelas jualan utamanya adalah mobil namun diproduksi oleh berbagai merek berbeda. Begitupun jenis kota oligopolis yang merupakan sekumpulan kota dengan karakteristik yang tidak berbeda jauh, dan umumnya ditemukan di kota-kota besar di Amerika Serikat (AS) dan Kanada. Salah satu contohnya adalah kota Boston, AS, yang ketika menjelang malam, pusat kotanya mulai sepi dan berubah layaknya kota hantu karena mayoritas orang-orang yang beraktivitas di dalamnya tinggal di daerah sub-urban, dan hanya mendatangi pusat kota untuk beraktivitas di siang hari.

7. Shock Cities

Dubai, Uni Arab Emirates

Jenis kota ini ditandai dengan pertumbuhan penduduk yang pesat dan laju pembanguna ekonominya yang kencang, sehingga membuatnya membutuhkan ruang yang lebih banyak dalam kondisi luas kota yang tidak seberapa besar, alhasil muncul beragam pencakar langit dalam waktu singkat. Istilah shock cities pertama kali dicetuskan oleh ahli perkotaan asal Inggris bernama Asa Briggs, yang menunjuk Manchester dan Chicago sebagai sebuah kota kosmopolitan baru di pertengahan abad 19 karena dukungan pertumbuhan industri yang pesat di kedua kota tersebut. Untuk saat ini, jenis kota ini lebih tepat ditujukan kepada kota-kota besar di semenanjung Arab seperti Dubai, Abu Dhabi, dan Doha. Bahkan gedung tertinggi di dunia saat ini, Burj Khalifa, beserta deretan gedung dengan desain paling futuristik berkumpul di Dubai yang dalam satu dekade belakangan selalu disebut sebagai kota dengan pertumbuhan tercepat di dunia.

8. Sky-High Aspirations

Taipei, Taiwan

Ini adalah jenis kota yang memiliki ciri khas satu bangunan berukuran raksasa yang mendominasi lanskap kota dan menjadikannya sebagai landmark. Dua contoh utama mengenai jenis kota ini adalah Taipei dengan gedung Taipei 101 yang menjadi penanda khas ibukota Taiwan tersebut, dan contoh lainnya adalah Kuala Lumpur, Malaysia, yang menjadikan Menara Kembar Petronas sebagai ciri khas.

9. Surf Cities

Gold Coast, Australia

Tipe kesembilan ini adalah tipe yang merujuk pada kota-kota yang terletak di tepi garis pantai yang panjang dan umumnya berada di pesisir samudera.  Jenis kota ini juga lazim menjadi kota wisata karena dukungan pantai dan ombaknya yang bagus. Itulah mengapa jenis kota ini didominasi oleh deretan hotel-hotel tinggi dan komplek hunian yang mayoritas terletak menghadap laut. Beberapa contohnya adalah kota Honolulu di kepulauan Hawaii dan Gold Coast Australia yang sejak lama menjadi destinasi wisata favorit banyak turis dunia.

10. Lights Out

Kairo, Mesir

Kota yang termasuk dalam jenis ini umumnya berada di kawasan yang bersuhu cukup panas dan memiliki kandungan air tanah tidak begitu banyak, sehingga cukup beresiko dalam menyediakan jaringan pipa air bagi deretan gedung pencakar langit. Pada kota-kota seperti ini, tidak banyak gedung pencakar langit dibangun kecuali hanya untuk hotel dan huniah premium saja. Biasanya kota-kota jenis ini berada di area datar yang luas sehingga berbagai bangunan kota menyebar memenuhi seluruh area tersebut. Contoh dari jenis kota ini adalah Kairo, Mumbai, dan Mexico City.

Lalu bagaimana dengan Jakarta?


Jakarta sebagai salah satu kota dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi di kawasan Asia saat ini dapat digolongkan menjadi bagian dari tipe shock cities karena semakin banyak gedung-gedung pencakar langit hadir di seantero kota. Bahkan, dalam waktu dekat, Jakarta akan memiliki dua gedung super tinggi yaitu Pertamina Tower dan Signature Tower. Untuk saat ini, Pertamina Tower sudah mulai masuk masa pembangunan dan nantinya akan memiliki ketinggian hingga 530 meter dan terdiri dari 99 lantai. Gedung ini berlokasi di kawasan Mega Kuningan, tepat berada di samping The Ritz-Carlton Hotel

Pertamina Tower

Sedangkan, Signature Tower sendiri nantinya akan menempati lahan di kawasan Sudirman Central Business District, tepatnya di belakang One Pacific Place dengan tinggi 638 meter dan jumlah  tingkat sebanyak lebih dari 100 lantai. Gedung ini disebut-sebut akan menjadi gedung tertinggi di kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara, di mana sebagian besar ruangnya akan digunakan sebagai kantor pusat seluruh BUMN negeri ini.

Signature Tower

Namun, jika menilik lebih jauh, skyline Jakarta umumnya memang berpusat di kawasan Segitiga Emas yang terdiri dari Jalan MH Thamrin, Jalan Sudirman, Jalan Gatot Subroto, Jalan HR Rasuna Said, dan Jalan Prof. Dr. Satrio. Namun beberapa area lain di seputaran Jakarta juga dapat disebut sebagai bagian dari skyline ibukota, walaupun hanya berbentuk superblok. Beberapa contoh besarnya adalah kawasan CBD Puri di Utara Jakarta dan deretan gedung di sepanjang pinggiran Jalan Tol TB Simatupang yang membentang dari area Tanjung Barat hingga Lebak Bulus, Jakarta Selatan. 

Talavera Building (kanan), salah satu gedung pencakar langit di sepanjang Tol TB Simatupang





Thursday, September 19, 2013

W Hotel & Resorts, Jaringan Hospitality (baca: Penginapan) 'Tergaul' di Dunia


Sebenarnya agak sulit untuk mendefinisikan kata 'hospitality' ke dalam Bahasa Indonesia, dan karena identik dengan tempat menginap, mungkin lebih baik mengartikannya sebagai layanan penginapan. Hospitality sendiri luas definisinya, tapi memang secara sederhananya merupakan bentuk jasa layanan berbasis penginapan, termasuk di dalamnya hotel, spa, restoran, kafe, bar, dan lain sebagainya.

Bellboy

Berbicara mengenai hospitality, banyak orang cenderung beranggapan hal ini sebatas tempat menginap beserta kelengkapannya sebagaimana disebutkan sebelumnya. Namun dalam dua dekade belakangan ini, hospitality telah bermain jauh menggunakan berbagai tema untuk mendefinisikan layanan mereka secara personal. Selain itu, pembentukan identitas tersebut juga berpengaruh pada peningkatan kesadaran merek (brand awereness) terhadap hotel bersangkutan. Hal ini menjadi begitu penting ketika banyak orang di dunia mulai menyadari hak-hak sebagai konsumen, dimana harga yang mereka bayar haruslah sesuai dengan apa yang mereka dapatkan. Semakin kesini, konsumen justru menuntut lebih dari sekadar pelayanan, namun mereka juga membutuhkan sebuah euforia yang dapat diceritakan ke banyak orang.

Logo W Hotels & Resorts

Walaupun saya bukan ahli pariwisata ataupun orang yang (belum) sering berwisata, namun saya senang sekali mengamati berbagai konsep hospitality yang ditawarkan saat ini. Satu merek yang begitu melekat di hati saya, dan ingin sekali saya kunjungi (jikalau saya cukup berduit, hehe) adalah jaringan hotel dan resor W. Unik memang jika melihat  namanya yang hanya menggunakan satu huruf, plus tanpa sadar ternyata bentuk huruf 'W' itu sendiri memang unik dan ikonik. Lebih dari itu, konsep layanan yang ditawarkan pun memang berkarakter, bahkan menjalar hingga ke bentuk desain ekterior dan interiornya. Thus, I really wanted to get the WOW experience from the W.

W Hotel Times Square

Pertama kali saya mengetahui W adalah ketika sedang menyaksikan sebuah video tur kota New York di YouTube, kira-kira itu di saat saya masih di kelas dua SMA, hmm ya sekitar tahun 2008. Ketika video tersebut sampai di bagian Times Square, saya sempat melihat sebuah logo W yang menurut saya aneh pada saat itu, seperti menempel di samping kontainer. Tapi walaupun aneh, entah mengapa saya justru terbayang-bayang terus dengannya. Beberapa minggu setelahnya, saya baru mengetahui bahwa logo W itu adalah logo dari jaringan hotel dan resor W, sebuah jaringan hospitality yang unik secara keseluruhan konsepnya.

Hotel W yang pertama, bernama W Hotel New York

Menurut profil yang saya lihat di situs resminya, W Hotel & Resorts buka pertama kali pada tahun 1998 di persimpangan 49 Street dan Lexington Avenue, New York, dengan nama W New York. Tidak membutuhkan waktu lama bagi W New York untuk menyita perhatian para penghuni the big apple city  tersebut. Melalui konsep hotel bisnis bintang lima dengan desain independen dan minimalis moderen, W berani mematahkan konsep umum hotel bintang lima yang selalu berorientasi pada desain aristokrat Eropa dan Amerika klasik.
Dalam kurung waktu kurang dari setahun, W berhasil membuka berbagai cabang di kota-kota besar di Amerika Serikat, dan dua tahun dari pertama kali dibuka, W pun melebarkan sayapnya ke luar negeri Paman Sam dengan membuka W Hotel Seoul. Setelah itu, W pun kian meluaskan cakupan layanan hospitality-nya ke berbagai lokasi populer di seluruh dunia, bahkan membuat lini resor yang di berbagai lokasi prestisius di planet bumi.
Hal utama yang membuat W menjadi begitu populer adalah kedekatannya dengan unsur hiburan. Di seluruh lokasi W di seantero dunia, jaringan hotel dan resor ini selalu mengedepankan unsur hiburan melalui konsep moderen yang bercampur dengan identitas lokal lokasi W berada. Setiap cabang W di seluruh dunia memiliki fasilitas restoran, lounge, dan bar yang inovatif. Bahkan terkadang di beberapa cabangnya, W menghadirkan first impression yang jauh melebihi bayangan konsumen mengenai layanan hospitality. Ditambah dengan kehadiran logo W dan bebagai slogan yang menggunakan awalan huruf tersebut, membuat jaringan hotel ini selalu diingat sebagai tempat yang hip

W Hotel Hong Kong

Berbagai alasan itulah yang membuat saya berkeinginan sekali untuk merasakan pengalaman WOW dari jaringan hotel dan resor W. Ada dua lokasi W yang menjadi incaran saya, yaitu W Times Square New York dan W Hong Kong. W Times Square jelas akan memuaskan impian saya mengenai kota New York, apalagi lokasinya berada di jantung kota tersibuk di dunia tersebut. Sedangkan W Hong Kong lebih kepada alasan pemandangan yang didapat dan juga bentuk gedungnya yang unik. Tapi, entah kapan hal itu terjadi, hahaha.

W Resorts Seminyak Bali

Oya di Indonesia juga ada cabang W, yaitu sebuah resor yang berlokasi di kawasan Seminyak dan memiliki pemandangan langsung ke Samudera Hindia. Kalau dilihat sekilas, resor ini agak mirip dengan kebanyakan resor di pulau Bali karena memang desainnya disesuaikan dengan konsep tropis. Selain itu juga untuk mengikuti aturan Pemda Bali yang melarang adanya bangunan lebih dari lima lantai. Hmm, tapi perasaan hotel Grand Inna Bali di kawasan Sanur memiliki tinggi lebih dari lima lantai. Apa mungkin peraturan tersebut berlaku seetelah hotel tersebut dibangun? Apapun itu, saya tetap   bercita-cita suatu saat nanti menikmati pengalaman dari W.

Ini nih Inna Grand Bali Beach Hotel yang jumlahnya kebanyakan (untuk ukuran Bali)


Wednesday, September 18, 2013

Modelpreneur, Lebih dari Sekedar Berjalan di Atas Panggung Mode


Presentasi koleksi fall/winter 2013 Sass & Bide di London Fashion Week

Istilah supermodel sudah terlalu umum untuk menggambarkan karir sukses seorang model, kini muncul istilah baru yaitu modelpreneur, merujuk pada penghasilan jutaan dollar yang didapat oleh para model dunia.

The big five 90's supermodel

Jika di dekade 90-an The Big Five, sebutan bagi lima supermodel dunia, yakni Cindy Crawford, Linda Evangelista, Naomi Campbell, Christy Turlington, dan Tatjana Patiz, sukses menguasasi ranah panggung mode dunia, kini para supermodel dunia justru selalu dikait-kaitkan dengan istilah The Bündchen Effect. Istilah The Bündchen Effect muncul karena melihat sukses luar biasa yang diraih oleh model asal Brazil, Giselle Bündchen, sebagai model dengan penghasilan tertinggi di dunia menurut data peringkat oleh majalah Forbes selama tujuh tahun berturut-turut sejak tahun 2004 silam. Bahkan kini Bündchen dikabarkan meraih penghasilan sebesar 42 juta dollar AS (sekitar Rp 479 miliar menurut kurs 17 September 2013) per tahunnya, lebih besar belasan juta dollar dari penghasilan model asal Inggris, Kate Moss, yang sering disebut sebagai model abadi.

Giselle Bündchen

Uniknya, Bündchen menyebutkan bahwa penghasilan dari berjalan di atas panggung mode dunia hanya sebesar 10 hingga 15 persen dari total penghasilannya. Sebagian besar ia mendapatkan pundi-pundi kekayaannya dari kontrak sebagai duta berbagai produk dunia, mulai dari produk mode hingga kecantikan. Selain itu, ia juga memiliki perusahaan alas kaki yang cukup sukses bernama Grendene. Kisah sukses Giselle Bündchen adalah salah satu alasan utama munculnya istilah modelpreneur, yakni model yang mendapatkan pundi kekayaannya lebih dari hanya sekedar berjalan di atas panggung mode dunia, namun juga menjadi duta berbagai produk dunia, memiliki perusahaan pribadi, hingga berkecimpung di dunia hiburan, bahkan menjadi seorang profesional.

Pose Bündchen di kampanye iklan koleksi Roberto Cavalli fall/winter 2010

Menurut Ryan Schinman, pemilik agensi hiburan Platinum Rye Entertainment, para model dunia saat ini telah menyadari pentingnya citra kepribadian yang baik dalam mengarungi ketatnya persaingan di ranah profesi model. Hal ini juga dibarengi oleh keaktifan mereka di jejaring sosial yang menarik banyak orang untuk mengikuti kabar terbaru dari para model tersebut. Schinman menyebut Bündchen sebagai sebuah fenomena dunia yang mampu menjaga dengan baik kepentingan setiap industri yang dimasukinya
"Walaupun kini ia telah menjadi seorang ibu, namun ia masih tetap terbuka dalam menerima berbagai tawaran komersial, terlebih ia juga merupakan istri dari seorang pemain futbol papan atas Amerika, Tom Brady, yang berarti dirinya mendapat akses karier yang lebih luas," ujar Schinman menjelaskan.
Pada akhirnya kini pola kesuksesan yang diraih oleh Bündchen diikuti oleh banyak model di seluruh dunia, bahkan menurut Schinman lagi, model-model yang baru berkecimpung pun telah memikirkan hal serupa. Salah satu contohnya adalah Karlie Kloss, model asal Amerika Serikat yang baru berusia 21 tahun, yang kurang dari tiga tahun kariernya di industri mode dunia telah mengantongi kekayaan lebih dari 10 juta dollar atau lebih dari Rp 114 miliar (kurs 17 September 2013).

Karlie Kloss dalam presentasi koleksi fall/winter 2012 dari rumah mode Dior

Seorang blogger dunia bernama Caroline Phelps yang terkenal dengan blog berjudul thegourmetmodel.com, menyebutkan fakta bahwa umumnya penghasilan yang didapat seorang model ketika berjalan di panggung mode dunia adalah 200 hingga 500 dollar AS atau sekitar Rp 2 juta hingga Rp 6 juta per peragaan busana. Berbeda jika model tersebut merupakan model papan atas, bayaran sekali jalan dapat mencapai puluhan juta rupiah. Hal tersebut berbeda jauh dengan penghasilan yang didapat model dari kontrak komersial, di mana nilai jualnya adalah karakter wajah dan juga kepribadian.
Semakin berkarakter dan memiliki reputasi yang baik di ranah komersial, semakin banyak pula pihak-pihak yang berebut mengontraknya, dan tentu semakin besar pula penghasilan yang di dapat. Atas dasar hal tersebut, Schinman dan orang-orang yang bekerja di dunia mode, sependapat mengenai penggunaan istilah modelpreneur kepada para model sukses dunia. Mereka lebih dari peraga busana di atas panggung mode, namun juga merupakan duta komersial yang profesional.