Showing posts with label Persona. Show all posts
Showing posts with label Persona. Show all posts

Wednesday, September 25, 2013

Anna Wintour, Sosok Inspiratif yang Dingin dan Ambisius



Ketika berbicara mengenai berbagai sosok perempuan kuat dunia, mungkin sosok Anna Wintour berada di daftar teratas yang menarik diperbincangkan. Sudah 24 tahun lamanya ia menjabat sebagai editor-in-chief majalah Vogue, dan selama itu pula ia turut membentuk industri fashion dunia. Konon, setiap pagelaran mode di berbagai fashion week dunia tidak akan dimulai jika Anna belum hadir. Bahkan para desainer mode papan atas dunia sampai harus menggelar koleksi mereka di hadapan Anna terlebih dahulu sebelum resmi dirilis karena pendapatnya mampu menentukan laris atau tidaknya koleksi tersebut di pasaran.

Menilik sejarahnya hidupnya, ketertarikan Anna terhadap industri media cetak, khususnya jurnalistik, telah terlihat sejak kecil. Anna lahir di London pada tanggal 3 November 1949, dan merupakan anak tertua dari pasangan Charles dan Eleanor Wintour. Ayahnya, Charles Wintour, adalah pemimpin redaksi harian London Evening Standard selama periode 1956 hingga 1979 dan selalu melibatkan ketiga anaknya dalam pekerjaannya. Anna dan kedua adiknya sering diajak melihat percetakan dan semua orang yang bekerja di sana. Menurut Anna, ayahnya mengajarkan etos kerja dan pentingnya mencintai setiap hal baik yang dilakukan di dunia, termasuk karier.

Anna Wintour muda di era 1960-an

Berbeda dengan adik-adiknya yang serius menekuni dunia akademik, Anna justru drop-out dari sekolah menengah dan bergabung dengan kehidupan anak muda London di era 1960-an yang dikenal dengan sebutan masa Swinging London, masa yang berorientasi pada pergerakan kaum muda. Di era ini pula, Anna menjajal karier sebagai model sebelum akhirnya bekerja sebagai fashion stylist di majalah Harper's & Queen. Di majalah ini, Anna menemukan minat terbesarnya pada bidang fashion dan media cetak, di mana setiap halaman mode yang dikerjakannya selalu tampil unik dan melebihi zamannya.

Pada tahun 1976, Anna memutuskan hijrah ke kota New York untuk menempati posisi junior fashion editor di majalah Harper's Bazaar. Hal ini ia lakukan, salah satu alasannya karena ia ingin melapaskan bayang-bayang nama besarnya ayahnya. Ia mengaku kemanapun ia pergi di Inggris, banyak orang selalu menanyakan apakah benar ia anaknya Charles Wintour, dan ia juga merasa tidak nyaman segala hal yang dilakukannya selalu dikait-kaitkan dengan nama besar sang ayah. Pikirnya dengan pindah ke New York, ia dapat menjadi diri sendiri secara utuh.

Meskipun demikian, Anna ternyata hanya mampu bertahan di Harper's Bazaar selama sembilan bulan karena menurutnya ia dinilai 'terlalu Eropa' dalam mengurusi segmen fashion majalah tersebut. Kemudian Anna pun pindah berkarier di majalah New York sebagai fashion editor hingga namanya berhasil mencuri perhatian Alexander Liberman, pemimpin grup penerbitan Condé Nast yang menaungi berbagai majalah besar dunia, termasuk Vogue. Begitu tertariknya pada talenta besar Anna, Liberman pun akhirnya menarik Anna bergabung dengan Vogue di tahun 1983, dan menempatkannya pada posisi creative dirrector yang sebelumnya tidak pernah ada di majalah tersebut.

Grace Mirabella Vs Anna Wintour

Anna yang terkenal 'tajam dan dingin' dalam bekerja membuat banyak pihak di Vogue merasa terancam, termasuk editor-in-chief-nya kala itu, Grace Mirabella. Bahkan dalam otobiografinya, In and Out Vogue, Grace menuliskan betapa Anna berusaha merebut posisinya. Ia menilai Anna sebagai sosok yang penuh curiga dan selalu berusaha mengubah layout  dan beberapa artikel tanpa sepengetahuannya. Bahkan Anna merupakan satu-satunya awak Vogue yang berani vokal dan menentang pendapat Grace di berbagai kesempatan. 

Melihat perseteruan panas Anna dan Grace, manajemen Condé Nast pun akhirnya memindahkan Anna ke Inggris untuk mengepalai majalah British Vogue. Dalam tiga tahun kepemimpinannya di British Vogue, Anna berhasil mengubah image majalah fashion tersebut yang nyeleneh menjadi sebuah media cetak berkelas internasional. Namun bagaimanapun juga, ambisi terbesar Anna adalah mengepalai Vogue yang merupakan kiblat fashion dunia sejak lama. Akhirnya impian tersebut berhasil terwujudkan di tahun 1988, saat manajemen Condé Nast menunjuk Anna yang ketika itu berusia 38 tahun menggantikan posisi Grace Mirabella yang telah memimpin majalah tersebut selama 17 tahun. Pemimpin Condé Nast kala itu, Si Newhouse, mengataka bahwa Vogue sudah terlalu konservatif dan  butuh penyegaran.

Vogue edisi November 1988, edisi perdana di bawah kepemimpinan Anna Wintour

Tidak butuh waktu lama bagi Anna untuk membuat gebrakan baru bagi majalah Vogue. Halaman sampul perdananya di edisi November 1988 menampilkan supermodel asal Israel, Michaela Berzu, mengenakan jaket bertaburkan batu mulia rancangan Christian Lacroix dan bawahan celana jins lansiran Guess. Foto halaman sampul tersebut berkonsep snapshot yang menampilan Berzu tertawa lepas tidak memandang ke depan dan dengan rambut yang tersibak angin. Hal ini sontak membuat dunia fashion terkejut karena Vogue selalu menampilkan wajah close-up wajah seorang model di studio yang tertata rapi sebagai foto halaman sampulnya. Namun, hal tersebut ditanggapi Anna dengan pendapat bahwa sebagai majalah fashion, majalah Vogue bercerita tentang perubahan. 

Semenjak itu, Anna terus melakukan reformasi besar-besaran pada Vogue  yang berdampak pada industri fashion secara keseluruhan. Sebagai contoh adalah halaman sampul yang menampilkan figur-figur publik sebagai modelnya, di mana hal tersebut merupakan sesuatu yang tidak lazim sebelumnya. Bukan hanya selebritas Hollywood, melainkan juga sosok perempuan-perempuan hebat dunia seperti Oprah Winfrey dan Hillary Clinton yang kala itu menjadi first lady. 

Anna Wintour di ruang kerjanya di redaksi Vogue

Anna dikenal hampir tidak pernah mengikuti riset pasar dan  lebih sering merespon nalurinya sendiri. Bisa jadi memang insting Anna memang tajam hingga terbukti ia mampu membawa Vogue menjadi sebuah merek besar di industri fashion dunia. Di bawah kepimpinan Anna selama kurun waktu 1988 hingga 2008, Vogue berhasil melipatkan keuntungan dari 87 juta dollar AS menjadi lebih dari 150 juta dollar AS atau sekitar Rp 1 triliun hingga lebih dari Rp 1,7 triliun (berdasarkan kurs 25 September 2013  - 1 dollar AS = Rp 11.569). 

Pimpinan Condé Nast saat ini, Charles Towsend, bahkan memuji Anna sebagai sosok tidak hanya memikirkan merek Vogue, namun juga pengaruh aspek sosial, politik, dan budaya yang mengekor di belakangnya. Atas prestasinya tersebut, konon Anna diganjar gaji sekitar 1 juta dollar AS per tahunnya dan uang saku 200 ribu dollar AS per bulan untuk belanja baju-baju dinas rancangan berbagai desainer ternama. Belum lagi fasilitas jet pribadi yang siap menerbangkannya ke Paris, London, dan Milan untuk menghadiri perhelatan fashion week setiap dua kali dalam setahun. Ia juga mendapat prioritas kamar suite di berbagai kota yang disinggahinya selama melakukan perjalanan dinas di berbagai kota besar dunia. 

Anna Wintour dalam acara perdana Fashion's Night Out di tahun 2009 di New York City

Kecintaannya pada dunia media fashion juga ditunjukkannya dengan menggalang berbagai kegiatan sosial, seperti contoh ajang Seventh on Sale berupa ajang diskon besar-besaran untuk mencari dana bagi riset HIV/AIDS di tahun 1990-an. Di tahun 2003, Anna menggagas program beasiswa bagi desainer muda Amerika di bawah yayasan Vogue Fondation Fund. Juga untuk mendongkrak industri fashion yang sempat lesu akibat resesi ekonomi di tahun 2008 dan 2009, Anna  pun menggagas diselenggarakannya ajang Fashion's Night Out  berupa pesta diskon fashion semalam suntuk yang digelar serentak di 16 kota besar dunia. Selain itu, Anna juga menjabat sebagai wakil ketua malam dana Metropolitan Museum of Art's Costume sejak tahun 1995 hingga kini.


Berbalik dari prestasi cemerlangnya, banyak kalangan justru menganggap Anna sebagai sosok yang 'dingin', gila kerja, dan terlalu ambisius, sehingga membuatnya mendapat julukan Ratu Es hingga Nuclear Wintour. Apalagi Anna begitu setia dengan kacamata hitam besar yang hampir selalu dikenakannya saat bepergian, di dalam maupun di luar ruangan. Sepertinya hal tersebut merupakan caranya untuk menyembunyikn emosi dalam membaca situasi dan menangkap instingnya. Karakter tersebut menginspirasi terciptanya tokoh Miranda Priestley, pemimpin majalah Runway yang tidak berperasaan, dalam novel The Devil Wears Prada. Novel tersebut diangkat ke layar lebar pad atahun 2006 dengan Anne Hathaway dan Meryl Streep sebagai pemain utamnya, dan meraih keuntungan hingga 326 juta dollar AS di seluruh dunia. 

Meryl Streep dan Anne Hathaway dalam film The Devil Wears Prada

Apakah Anna sekeji Miranda? Dalam sebuah wawancara dengan stasiun televisi CBS dalam program 60 Minutes di tahun yang sama, Anna menyodorkan sebuah lelucon bahwa jika benar dirinya bersikpa keji, lantas bagaimana mungkin banyak orang telah bekerja padanya selama 15 atau 20 tahun dan tahan berada di bawah kepemimpinannya. Hal ini menunjukkan ketenangan Anna dalam menghadapi berbagai cercaan serta kritik yang menghampirinya. Bahkan pernah suatu kali para kelompok pecinta binatang yang konsisten memprotes kegemarannya mengenakan mantel berbahan bulu hewan menaruh bangkai seekor rakun di meja Anna saat bersantap siang di Hotel Four Seasons Paris, namun dibalas Anna dengan hanya menyuruh pelayan menyingkirkan bangkai tersebut dan kembali melanjutkan santap siangnya seolah hal tersebut tidak pernah terjadi. 

Charlie Shaffer, Bee Shaffer, dan Anna Wintour

Begitu pula ketika berbagai tabloid gosip ramai memberitakan dirinya berselingkuh dengan Shelby Bryan, seorang pengusaha telekomunikasi asal Houston, Texas, di tahun 1998, Anna yang saat itu masih berstatus istri dari David Shaffer, tidak pernah mengeluarkan komentar apapun. Pada Akhirnya, Anna dan Shelby pun menceraikan pasangannya masing-masing dan hidup bersama hingga saat ini bersama dengan dua anak kandungnya, Charlie Schaffer dan Bee Shaffer. Hingga sekarang pun, Anna tidak pernah mau berkomentar mengenai kehidupan pribadinya, kecuali perannya sebagai seorang ibu dan perempuan karier. 

Sebuah potongan klip dari dokumenter The September Issue 
yang turut menampilkan keseharian Anna Wintour di rumahnya

Ada satu hal lagi yang unik dari seorang Anna Wintour, yakni ia selalu rutin melakukan aktivitas hariannya di rumah. Ia selalu bangun pukul 05.45 pagi, bermain tenis selama satu jam setiap harinya, lalu bersiap manata rambut dan tata rias bersama make-up artist khusus yang datang ke rumahnya setiap pukul 07.00 pagi, dan setelahnya, supir kantor siap mengantarkan Anna menuju kantor Vogue di lantai 12 Condé Nast Tower yang terletak di kawasan Times Square, New York, tepat pukul 08.00 pagi. Anna juga termasuk disiplin dalam hal pola tidur. Walaupun dunia mode dekat gaya hidup malam dan pesta, Anna tidak pernah mau menghabiskan waktu lebih dari 20 menit ketika menghadiri sebuah pesta, karena ia harus menepati waktu tidurnya pada pukul 22.30 malam. 

Bagaimanapun tanggapan orang mengenai Anna Wintour, saya pribadi termasuk salah satu yang mengidolakannya. Bukan karena ia adalah penguasa media fashion dunia, melainkan etos kerja dan intuisi kariernya yang sangat tajam. Jujur, Anna Wintour begitu menginspirasi saya untuk mencintai setiap pekerjaan yang saya lakukan. Tanpa memandang gender, saya rasa sikap kerja Anna Wintour dapat menjadi panutan banyak orang. 

Poster film The September Issue

Jika ingin mengenal lebih jauh sosok Anna Wintour dan bagaimana kiprahnya di majalah Vogue seingga menjadikannya perempuan paling berpengaruh di industri mode duni, film dokumenter The September Issue adalah jawabannya. Saya pertama kali menonton film ini di tahun 2010 silam ketika sedang berada di kota Padang dan tidak sengaja menemukan DVD bajakan film ini. Yeah, film yang rilis di tahun 2009 ini cukup menggambarkan dengan detail bagaimana sebuah majalah menjadi tolak ukur sebuah industri kreatif raksasa, yakni industri mode. (More/CBS)

Wednesday, September 18, 2013

Modelpreneur, Lebih dari Sekedar Berjalan di Atas Panggung Mode


Presentasi koleksi fall/winter 2013 Sass & Bide di London Fashion Week

Istilah supermodel sudah terlalu umum untuk menggambarkan karir sukses seorang model, kini muncul istilah baru yaitu modelpreneur, merujuk pada penghasilan jutaan dollar yang didapat oleh para model dunia.

The big five 90's supermodel

Jika di dekade 90-an The Big Five, sebutan bagi lima supermodel dunia, yakni Cindy Crawford, Linda Evangelista, Naomi Campbell, Christy Turlington, dan Tatjana Patiz, sukses menguasasi ranah panggung mode dunia, kini para supermodel dunia justru selalu dikait-kaitkan dengan istilah The Bündchen Effect. Istilah The Bündchen Effect muncul karena melihat sukses luar biasa yang diraih oleh model asal Brazil, Giselle Bündchen, sebagai model dengan penghasilan tertinggi di dunia menurut data peringkat oleh majalah Forbes selama tujuh tahun berturut-turut sejak tahun 2004 silam. Bahkan kini Bündchen dikabarkan meraih penghasilan sebesar 42 juta dollar AS (sekitar Rp 479 miliar menurut kurs 17 September 2013) per tahunnya, lebih besar belasan juta dollar dari penghasilan model asal Inggris, Kate Moss, yang sering disebut sebagai model abadi.

Giselle Bündchen

Uniknya, Bündchen menyebutkan bahwa penghasilan dari berjalan di atas panggung mode dunia hanya sebesar 10 hingga 15 persen dari total penghasilannya. Sebagian besar ia mendapatkan pundi-pundi kekayaannya dari kontrak sebagai duta berbagai produk dunia, mulai dari produk mode hingga kecantikan. Selain itu, ia juga memiliki perusahaan alas kaki yang cukup sukses bernama Grendene. Kisah sukses Giselle Bündchen adalah salah satu alasan utama munculnya istilah modelpreneur, yakni model yang mendapatkan pundi kekayaannya lebih dari hanya sekedar berjalan di atas panggung mode dunia, namun juga menjadi duta berbagai produk dunia, memiliki perusahaan pribadi, hingga berkecimpung di dunia hiburan, bahkan menjadi seorang profesional.

Pose Bündchen di kampanye iklan koleksi Roberto Cavalli fall/winter 2010

Menurut Ryan Schinman, pemilik agensi hiburan Platinum Rye Entertainment, para model dunia saat ini telah menyadari pentingnya citra kepribadian yang baik dalam mengarungi ketatnya persaingan di ranah profesi model. Hal ini juga dibarengi oleh keaktifan mereka di jejaring sosial yang menarik banyak orang untuk mengikuti kabar terbaru dari para model tersebut. Schinman menyebut Bündchen sebagai sebuah fenomena dunia yang mampu menjaga dengan baik kepentingan setiap industri yang dimasukinya
"Walaupun kini ia telah menjadi seorang ibu, namun ia masih tetap terbuka dalam menerima berbagai tawaran komersial, terlebih ia juga merupakan istri dari seorang pemain futbol papan atas Amerika, Tom Brady, yang berarti dirinya mendapat akses karier yang lebih luas," ujar Schinman menjelaskan.
Pada akhirnya kini pola kesuksesan yang diraih oleh Bündchen diikuti oleh banyak model di seluruh dunia, bahkan menurut Schinman lagi, model-model yang baru berkecimpung pun telah memikirkan hal serupa. Salah satu contohnya adalah Karlie Kloss, model asal Amerika Serikat yang baru berusia 21 tahun, yang kurang dari tiga tahun kariernya di industri mode dunia telah mengantongi kekayaan lebih dari 10 juta dollar atau lebih dari Rp 114 miliar (kurs 17 September 2013).

Karlie Kloss dalam presentasi koleksi fall/winter 2012 dari rumah mode Dior

Seorang blogger dunia bernama Caroline Phelps yang terkenal dengan blog berjudul thegourmetmodel.com, menyebutkan fakta bahwa umumnya penghasilan yang didapat seorang model ketika berjalan di panggung mode dunia adalah 200 hingga 500 dollar AS atau sekitar Rp 2 juta hingga Rp 6 juta per peragaan busana. Berbeda jika model tersebut merupakan model papan atas, bayaran sekali jalan dapat mencapai puluhan juta rupiah. Hal tersebut berbeda jauh dengan penghasilan yang didapat model dari kontrak komersial, di mana nilai jualnya adalah karakter wajah dan juga kepribadian.
Semakin berkarakter dan memiliki reputasi yang baik di ranah komersial, semakin banyak pula pihak-pihak yang berebut mengontraknya, dan tentu semakin besar pula penghasilan yang di dapat. Atas dasar hal tersebut, Schinman dan orang-orang yang bekerja di dunia mode, sependapat mengenai penggunaan istilah modelpreneur kepada para model sukses dunia. Mereka lebih dari peraga busana di atas panggung mode, namun juga merupakan duta komersial yang profesional.