Ketika berbicara mengenai berbagai sosok perempuan kuat dunia, mungkin sosok Anna Wintour berada di daftar teratas yang menarik diperbincangkan. Sudah 24 tahun lamanya ia menjabat sebagai editor-in-chief majalah
, dan selama itu pula ia turut membentuk industri fashion dunia. Konon, setiap pagelaran mode di berbagai
dunia tidak akan dimulai jika Anna belum hadir. Bahkan para desainer mode papan atas dunia sampai harus menggelar koleksi mereka di hadapan Anna terlebih dahulu sebelum resmi dirilis karena pendapatnya mampu menentukan laris atau tidaknya koleksi tersebut di pasaran.
Menilik sejarahnya hidupnya, ketertarikan Anna terhadap industri media cetak, khususnya jurnalistik, telah terlihat sejak kecil. Anna lahir di London pada tanggal 3 November 1949, dan merupakan anak tertua dari pasangan Charles dan Eleanor Wintour. Ayahnya, Charles Wintour, adalah pemimpin redaksi harian
selama periode 1956 hingga 1979 dan selalu melibatkan ketiga anaknya dalam pekerjaannya. Anna dan kedua adiknya sering diajak melihat percetakan dan semua orang yang bekerja di sana. Menurut Anna, ayahnya mengajarkan etos kerja dan pentingnya mencintai setiap hal baik yang dilakukan di dunia, termasuk karier.
Anna Wintour muda di era 1960-an
Berbeda dengan adik-adiknya yang serius menekuni dunia akademik, Anna justru drop-out dari sekolah menengah dan bergabung dengan kehidupan anak muda London di era 1960-an yang dikenal dengan sebutan masa
Swinging London, masa yang berorientasi pada pergerakan kaum muda. Di era ini pula, Anna menjajal karier sebagai model sebelum akhirnya bekerja sebagai
fashion stylist di majalah
Harper's & Queen. Di majalah ini, Anna menemukan minat terbesarnya pada bidang fashion dan media cetak, di mana setiap halaman mode yang dikerjakannya selalu tampil unik dan melebihi zamannya.
Pada tahun 1976, Anna memutuskan hijrah ke kota New York untuk menempati posisi
junior fashion editor di majalah
Harper's Bazaar. Hal ini ia lakukan, salah satu alasannya karena ia ingin melapaskan bayang-bayang nama besarnya ayahnya. Ia mengaku kemanapun ia pergi di Inggris, banyak orang selalu menanyakan apakah benar ia anaknya Charles Wintour, dan ia juga merasa tidak nyaman segala hal yang dilakukannya selalu dikait-kaitkan dengan nama besar sang ayah. Pikirnya dengan pindah ke New York, ia dapat menjadi diri sendiri secara utuh.
Meskipun demikian, Anna ternyata hanya mampu bertahan di
Harper's Bazaar selama sembilan bulan karena menurutnya ia dinilai 'terlalu Eropa' dalam mengurusi segmen fashion majalah tersebut. Kemudian Anna pun pindah berkarier di majalah
New York sebagai
fashion editor hingga namanya berhasil mencuri perhatian Alexander Liberman, pemimpin grup penerbitan Condé Nast yang menaungi berbagai majalah besar dunia, termasuk Vogue. Begitu tertariknya pada talenta besar Anna, Liberman pun akhirnya menarik Anna bergabung dengan Vogue di tahun 1983, dan menempatkannya pada posisi
creative dirrector yang sebelumnya tidak pernah ada di majalah tersebut.
Grace Mirabella Vs Anna Wintour
Anna yang terkenal 'tajam dan dingin' dalam bekerja membuat banyak pihak di Vogue merasa terancam, termasuk editor-in-chief-nya kala itu, Grace Mirabella. Bahkan dalam otobiografinya, In and Out Vogue, Grace menuliskan betapa Anna berusaha merebut posisinya. Ia menilai Anna sebagai sosok yang penuh curiga dan selalu berusaha mengubah layout dan beberapa artikel tanpa sepengetahuannya. Bahkan Anna merupakan satu-satunya awak Vogue yang berani vokal dan menentang pendapat Grace di berbagai kesempatan.
Melihat perseteruan panas Anna dan Grace, manajemen Condé Nast pun akhirnya memindahkan Anna ke Inggris untuk mengepalai majalah British Vogue. Dalam tiga tahun kepemimpinannya di British Vogue, Anna berhasil mengubah image majalah fashion tersebut yang nyeleneh menjadi sebuah media cetak berkelas internasional. Namun bagaimanapun juga, ambisi terbesar Anna adalah mengepalai Vogue yang merupakan kiblat fashion dunia sejak lama. Akhirnya impian tersebut berhasil terwujudkan di tahun 1988, saat manajemen Condé Nast menunjuk Anna yang ketika itu berusia 38 tahun menggantikan posisi Grace Mirabella yang telah memimpin majalah tersebut selama 17 tahun. Pemimpin Condé Nast kala itu, Si Newhouse, mengataka bahwa Vogue sudah terlalu konservatif dan butuh penyegaran.
Vogue edisi November 1988, edisi perdana di bawah kepemimpinan Anna Wintour
Tidak butuh waktu lama bagi Anna untuk membuat gebrakan baru bagi majalah Vogue. Halaman sampul perdananya di edisi November 1988 menampilkan supermodel asal Israel, Michaela Berzu, mengenakan jaket bertaburkan batu mulia rancangan Christian Lacroix dan bawahan celana jins lansiran Guess. Foto halaman sampul tersebut berkonsep snapshot yang menampilan Berzu tertawa lepas tidak memandang ke depan dan dengan rambut yang tersibak angin. Hal ini sontak membuat dunia fashion terkejut karena Vogue selalu menampilkan wajah close-up wajah seorang model di studio yang tertata rapi sebagai foto halaman sampulnya. Namun, hal tersebut ditanggapi Anna dengan pendapat bahwa sebagai majalah fashion, majalah Vogue bercerita tentang perubahan.
Semenjak itu, Anna terus melakukan reformasi besar-besaran pada Vogue yang berdampak pada industri fashion secara keseluruhan. Sebagai contoh adalah halaman sampul yang menampilkan figur-figur publik sebagai modelnya, di mana hal tersebut merupakan sesuatu yang tidak lazim sebelumnya. Bukan hanya selebritas Hollywood, melainkan juga sosok perempuan-perempuan hebat dunia seperti Oprah Winfrey dan Hillary Clinton yang kala itu menjadi first lady.
Anna Wintour di ruang kerjanya di redaksi Vogue
Anna dikenal hampir tidak pernah mengikuti riset pasar dan lebih sering merespon nalurinya sendiri. Bisa jadi memang insting Anna memang tajam hingga terbukti ia mampu membawa Vogue menjadi sebuah merek besar di industri fashion dunia. Di bawah kepimpinan Anna selama kurun waktu 1988 hingga 2008, Vogue berhasil melipatkan keuntungan dari 87 juta dollar AS menjadi lebih dari 150 juta dollar AS atau sekitar Rp 1 triliun hingga lebih dari Rp 1,7 triliun (berdasarkan kurs 25 September 2013 - 1 dollar AS = Rp 11.569).
Pimpinan Condé Nast saat ini, Charles Towsend, bahkan memuji Anna sebagai sosok tidak hanya memikirkan merek Vogue, namun juga pengaruh aspek sosial, politik, dan budaya yang mengekor di belakangnya. Atas prestasinya tersebut, konon Anna diganjar gaji sekitar 1 juta dollar AS per tahunnya dan uang saku 200 ribu dollar AS per bulan untuk belanja baju-baju dinas rancangan berbagai desainer ternama. Belum lagi fasilitas jet pribadi yang siap menerbangkannya ke Paris, London, dan Milan untuk menghadiri perhelatan fashion week setiap dua kali dalam setahun. Ia juga mendapat prioritas kamar suite di berbagai kota yang disinggahinya selama melakukan perjalanan dinas di berbagai kota besar dunia.
Anna Wintour dalam acara perdana Fashion's Night Out di tahun 2009 di New York City
Kecintaannya pada dunia media fashion juga ditunjukkannya dengan menggalang berbagai kegiatan sosial, seperti contoh ajang Seventh on Sale berupa ajang diskon besar-besaran untuk mencari dana bagi riset HIV/AIDS di tahun 1990-an. Di tahun 2003, Anna menggagas program beasiswa bagi desainer muda Amerika di bawah yayasan Vogue Fondation Fund. Juga untuk mendongkrak industri fashion yang sempat lesu akibat resesi ekonomi di tahun 2008 dan 2009, Anna pun menggagas diselenggarakannya ajang Fashion's Night Out berupa pesta diskon fashion semalam suntuk yang digelar serentak di 16 kota besar dunia. Selain itu, Anna juga menjabat sebagai wakil ketua malam dana Metropolitan Museum of Art's Costume sejak tahun 1995 hingga kini.
Berbalik dari prestasi cemerlangnya, banyak kalangan justru menganggap Anna sebagai sosok yang 'dingin', gila kerja, dan terlalu ambisius, sehingga membuatnya mendapat julukan Ratu Es hingga Nuclear Wintour. Apalagi Anna begitu setia dengan kacamata hitam besar yang hampir selalu dikenakannya saat bepergian, di dalam maupun di luar ruangan. Sepertinya hal tersebut merupakan caranya untuk menyembunyikn emosi dalam membaca situasi dan menangkap instingnya. Karakter tersebut menginspirasi terciptanya tokoh Miranda Priestley, pemimpin majalah Runway yang tidak berperasaan, dalam novel The Devil Wears Prada. Novel tersebut diangkat ke layar lebar pad atahun 2006 dengan Anne Hathaway dan Meryl Streep sebagai pemain utamnya, dan meraih keuntungan hingga 326 juta dollar AS di seluruh dunia.
Meryl Streep dan Anne Hathaway dalam film The Devil Wears Prada
Apakah Anna sekeji Miranda? Dalam sebuah wawancara dengan stasiun televisi CBS dalam program 60 Minutes di tahun yang sama, Anna menyodorkan sebuah lelucon bahwa jika benar dirinya bersikpa keji, lantas bagaimana mungkin banyak orang telah bekerja padanya selama 15 atau 20 tahun dan tahan berada di bawah kepemimpinannya. Hal ini menunjukkan ketenangan Anna dalam menghadapi berbagai cercaan serta kritik yang menghampirinya. Bahkan pernah suatu kali para kelompok pecinta binatang yang konsisten memprotes kegemarannya mengenakan mantel berbahan bulu hewan menaruh bangkai seekor rakun di meja Anna saat bersantap siang di Hotel Four Seasons Paris, namun dibalas Anna dengan hanya menyuruh pelayan menyingkirkan bangkai tersebut dan kembali melanjutkan santap siangnya seolah hal tersebut tidak pernah terjadi.
Charlie Shaffer, Bee Shaffer, dan Anna Wintour
Begitu pula ketika berbagai tabloid gosip ramai memberitakan dirinya berselingkuh dengan Shelby Bryan, seorang pengusaha telekomunikasi asal Houston, Texas, di tahun 1998, Anna yang saat itu masih berstatus istri dari David Shaffer, tidak pernah mengeluarkan komentar apapun. Pada Akhirnya, Anna dan Shelby pun menceraikan pasangannya masing-masing dan hidup bersama hingga saat ini bersama dengan dua anak kandungnya, Charlie Schaffer dan Bee Shaffer. Hingga sekarang pun, Anna tidak pernah mau berkomentar mengenai kehidupan pribadinya, kecuali perannya sebagai seorang ibu dan perempuan karier.
Sebuah potongan klip dari dokumenter The September Issue
yang turut menampilkan keseharian Anna Wintour di rumahnya
Ada satu hal lagi yang unik dari seorang Anna Wintour, yakni ia selalu rutin melakukan aktivitas hariannya di rumah. Ia selalu bangun pukul 05.45 pagi, bermain tenis selama satu jam setiap harinya, lalu bersiap manata rambut dan tata rias bersama make-up artist khusus yang datang ke rumahnya setiap pukul 07.00 pagi, dan setelahnya, supir kantor siap mengantarkan Anna menuju kantor Vogue di lantai 12 Condé Nast Tower yang terletak di kawasan Times Square, New York, tepat pukul 08.00 pagi. Anna juga termasuk disiplin dalam hal pola tidur. Walaupun dunia mode dekat gaya hidup malam dan pesta, Anna tidak pernah mau menghabiskan waktu lebih dari 20 menit ketika menghadiri sebuah pesta, karena ia harus menepati waktu tidurnya pada pukul 22.30 malam.
Bagaimanapun tanggapan orang mengenai Anna Wintour, saya pribadi termasuk salah satu yang mengidolakannya. Bukan karena ia adalah penguasa media fashion dunia, melainkan etos kerja dan intuisi kariernya yang sangat tajam. Jujur, Anna Wintour begitu menginspirasi saya untuk mencintai setiap pekerjaan yang saya lakukan. Tanpa memandang gender, saya rasa sikap kerja Anna Wintour dapat menjadi panutan banyak orang.
Poster film The September Issue
Jika ingin mengenal lebih jauh sosok Anna Wintour dan bagaimana kiprahnya di majalah Vogue seingga menjadikannya perempuan paling berpengaruh di industri mode duni, film dokumenter The September Issue adalah jawabannya. Saya pertama kali menonton film ini di tahun 2010 silam ketika sedang berada di kota Padang dan tidak sengaja menemukan DVD bajakan film ini. Yeah, film yang rilis di tahun 2009 ini cukup menggambarkan dengan detail bagaimana sebuah majalah menjadi tolak ukur sebuah industri kreatif raksasa, yakni industri mode. (More/CBS)